Odong-odong
Oleh : Ninik Zakiyah '12 ( Mbangir )
Oleh : Ninik Zakiyah '12 ( Mbangir )
“Panas
sekali hari ini”, gumam Pak Budi sambil terus mengontel odong-odongnya
dengan penuh harap.
Terus
mengayuh demi kocek untuk nafkah keluarga tercinta, dibekali sebotol air putih,
sebungkus nasi dan ikan asin oleh istri tercinta, yang ia gantungkan di sebelah
kanan odong-odong. Topi kusut Pak Budi masih setia ia pakai untuk menutupi sengatan
terik panas. Tersematkan handuk kecil di lehernya, untuk mengusap keringat yang
keluar dari persinggahannya.
Sudah lebih dari dua tahun yang lalu
Pak Budi menggeluti usaha odong-odong. Di belinya dari tetangga ketika ia baru
hijrah dari kampung halamannya. Bermodalkan uang saku dari kampung, ia belikan
sebuah odong-odong. Awalnya ragu, akankah bisa sekedar bertahan hidup pada bau
anyir Ibu Kota dengan hanya meletakkan harapan pada sebuah permainan anak-anak.
Akan tetapi, Pak Budi tanggalkan segala keraguan untuk kebahagiaan keluarga
kecilnya. Keyakinan dan keterjepitan horornya ibu kota, menimbulkan semangat
yang meradang demi sesuap nasi.
Pak Budi mengontrak rumah sepetak di
gang sempit rawan banjir, jalan untuk lewat odong-odongnya saja harus Pak Budi
tuntun. Maksut hati ingin odong-odongnya di parkirkan di depan rumahnya, tapi
karena kesulitan yang terlalu lama memasuki gang rumahnya akhirnya odong-odong
tersebut hanya di letakkan dengan apik di samping papan nama depan gang
rumahnya.
Kokok ayam pertanda kesiapan Pak
Budi melajukan odong-odongnya. Sarapan pagi yang selalu di suguhkan oleh sang
istri untuk mengisi tenaganya. Masih di bekali sebungkus nasi dan ikan serta
sebotol minum untuk makan siangnya nanti, lumayan untuk mengurangi biaya
pengeluaran jajan di keluarganya.
Sambil berangkat mencari nafkah, Pak
Budi mengantarkan anak semata wayangnya dahulu ke sekolah dengan
odong-odongnya. Entah anak tercinta malu atau tidak ketika ayahnya mengantarkan
sekolah, Pak Budi menciut nyalinya ketika mengantarkan. Melihat teman-teman
anaknya di antarkan orangtuanya dengan sepeda motor, bahkan mobil. Kecerdasan
anaknya yang menjadikan ia bisa masuk sekolah unggulan serta mendapatkan
beasiswa hingga lulus sekolah dasar nanti, sangat beruntung sekali sang Tuan
Kayuh dikaruniai buah hati yang cerdas, keterbatasan ekonomi keluarga bukan
alasan untuk tidak pintar. Namun ternyata buah hati Pak Budi menjadikaanya itu
sebagai acuan semangat untuk merubah segala persepsi masyarakat yang mengangap
remeh keluarganya. Diana, begitu panggilan anaknya yang tak pernah malu apa
pekerjaan ayahnya tercinta. Karena dari situ dia dapat bertahan hidup. Meski
saat ini baru duduk di bangku kelas enam sekolah dasar, tak membuat Diana
lantas bermalas. Didikan ibu dan bapaknya membuat Diana memahami kondisinya
sekarang, karena Diana punya cita-cita besar untuk merubah keadaannya sekarang
untuk menjadi lebih baik dan berjaya.
Setelah mengantarkan Diana, Pak Budi
meneruskan perjalanannya dari kampung ke kampung dengan lagu anak-anak yang
selalu diputar untuk menarik minat anak-anak untuk memakai jasa odong-odongnya.
Waktu terus melaju, panas hari semakin menyilaukan, dari detik, menit, hingga
jam, tak didapatnya anak-anak yang keluar untuk sebentar menaiki odong-odongnya.
Sempat terpikir di benak Pak Budi untuk mengganti lagu-lagu kelas anak-anak
dengan lagu-lagu masa kini, pop atau dangdut. Pak Budi pikir anak jaman
sekarang sudah tak mengenal atau bahkan alergi kala mendengar lagu anak-anak
seperti balonku ada lima, abang tukang bakso. Tapi Pak Budi akhirnya memutuskan
untuk tak mau mengganti jenis lagunya. Pak Budi malahan punya misi untuk
mendekatkan lagu yang semestinya anak-anak dengar. Hari itu, tak ada satu pun
anak yang menjajal odong-odongnya.
“Kiranya
uang hasil kemarin masih cukup untuk makan sampai esok tiba”, harap Pak Budi.
Pak Budi berusaha mencari ide agar
odong-odongnya laku pesat, lalu odong-odong Pak Budi beri sedikit polesan untuk
menjadi lain daripada yang lain. Pak Budi tak kehabisan ide, orangnya sangat kreatif dan pintar mengeksplor
odong-odongnya. Pak Budi lukis dengan aneka hewan dan tumbuhan yang lucu. Pak
Budi hiasi dengan lampu warna warni, keempat binatang yang dinaikinya ia
berikan suara yang berbeda-beda sesuai dengan jenis hewannya.
Interaksi manusia tak hanya sebatas
kepada sesama manusia saja. Benda hidup dan tak hidup sama-sama diciptakan
untuk bergurau.
Tiba-tiba odong-odong bergerak
sendiri sambil tersenyum, seperti bangkit dari tidur panjangnya. Lama sudah
badannya tak pernah dijamah, ruhnya kembali. Ternyata odong-odongnya begitu
senang kepada Pak Budi.
Ia
berkata “sering-seringlah aku di bersihkan, aku ada diantara kalian”, Pak
Budi tersenyum membalasnya.
Dengan
wajah baru odong-odongnya, Pak Budi yakin akan ada banyak anak yang tertarik
dan memakai odong-odongnya. Dari pagi sampai mau menjelang duhur, sudah
berkali-kali mengitari dari komplek yang satu ke komplek yang lainnya, lagu
yang biasnya hanya diputar dengan volume setengah, Pak Budi berikan volume
penuh. Namun, tak ada satupun yang melirik odong-odongnya. Lalu Pak Budi
istirah sejenak meregangkan otot dan melepas lelah. Diambilnya sebotol air
putih bekal dari sang Istri tercinta.
Baru
satu tegukan, odong-odongnya berteriak kepada Pak Budi, “ayo bangkit
pemalas”, kata odong-odong dengan suara kencang.
Dengan
bermandikan keringat, tiba-tiba Pak Budi dimarahi odong-odongnya. Pak Budi
lantas tersulut kemarahannya oleh odong-odong. “Kalau saya pemalas, tak akan
aku pelihara kamu”, sahut Pak Budi.
“Bukankah
kemarin kamu bilang telah senang aku dandani untuk keluargaku, tapi seenaknya
kau memarahiku. Tidakkah kau lihat usahaku merubah wajahmu menjadi lebih baik”, jelas Pak Budi.
“Iya,
saya kemarin memang berkata seperti itu wahai Pak Budi, okelah mari kita
lnjutkan perjalanan ini”,
jawab odong-odong.
Dengan muka kisut dan marah, Pak
Budi lalu bergegas mengayuh odong-odongnya. Sampai di sebuah perkampungan yang
masih agak dekat dengan rumahnya, ada seorang anak yang di gendong ibunya
meminta untuk naik odong-odong Pak Budi Kayuh itu. Gembiranya Pak Budi ketika
ada anak yang hendak memakai odong-odongnya. Ketika sang Tuan hendak menaikkan
anak imut tersebut, ternyata ibunya menawar dahulu harga sekali naik.
“berapa
pak?”, tanya ibu
tersebut.
“dua
ribu untuk empat putaran lagu bu”,
jawab Pak Budi.
“seribu
lima ratus saja ya pak”,
tawar ibu.
“ya
sudahlah”, jawab Pak Budi
sedikit terpaksa.
Lalu Pak Budi kayuh odong-odongnya untuk
menggerakkan ke empat binatang yang meskipun hanya satu saja yang dinaiki.
“kenapa kau berikan saya seharga
seribu lima ratus Pak?”, ucap odong-odong tiba-tiba.
Sambil
mengayuh, Pak Budi terkaget lalu menjawab “sudah setengah hari lebih saya
berputar mengelilingi kampung demi kampung, namun belum ada seorang pun yang
datang. Ibu ini di kirim Tuhan untuk memberikan saya rejeki di hari ini”.
“justru
itu Pak, seharusnya jangan mau jika di tawar, tidakkah kau ingat tadi betapa
lelahnya dirimu ketika sudah berkeliling kesana kemari”, ujar odong-odong keras.
“Sudahlah-sudah
odong-odong, terima saja apa yang akan aku lakukan kepadamu. Kamu itu bawahan
saya!”, kata Pak Budi
marah.
Tak berapa lama Pak Budi berkata
demikian, tiba-tiba rantai odong-odongnya putus. Baru saja selesai lagu ketiga,
dengan ucap maaf setulus hati dari Pak Budi kepada anak imut tersebut dan
ibunya, bahwa harus berhenti sampai di lagu ketiga saja karena rantainya putus.
Untung ibu tersebut tak memepermasalahkannya.
Setelah ibu dan anak tadi sudah
meninggalkan Pak Budi dan odong-odongnya, Pak Budi dengan cepat memperbaiki
rantainya.
“tidakkah
enak Pak! Saya memang hanya bawahanmu, tapi bukan berarti anda memperlakukan
saya seenaknya sendiri”,
gerutu odong-odong kepada Pak Budi ketika sedang memperbaiki rantainya.
“oke, maafkan saya odong-odong
yang telah membentak dan meyepelekanmu”, jawab Pak Budi sambil mengusap
keringatnya dengan handuk kecil yang tersematkan di lehernya.
“ya sudah Pak, jika sudah selesai
memperbaikinya mari lanjutkan perjalanan. Tapi saya mohon kepada anda, ke empat
binatang yang seharusnya di naiki semua, tolong isilah semua”, pinta
odong-odong.
“itu
juga mau saya odong-odong, tapi bagaimana lagi. Bukankah aku dan kamu sama-sama
tau bagaimana sepinya peminat”,
jawab Pak Budi.
“kalau
begitu, pindah ke perkampungan yang lain saja. Barangkali mereka sudah bosan
melihatku”, sahut
odong-odong.
Baru dua jam berkeliling ke sasaran
perkampunga yang baru, ke empatnya sudah terisi semua bahkan tak ada yang
menawar harganya. Begitu gembiranya Pak Budi.
“bisa
makan yang lebih sederhana dari hari sebelumnya”, lanturan Pak Budi sambil mengayuh dan membayangkan makanan yang
akan dimakan nanti.
“Pak... percepatlah lagunya
diputar, atau kalau bisa sudahilah aku kau kayuh Tuan” seru odong-odong
lirih kelelahan.
“kenapa
odong-odong, apakah kamu tidak senang jika aku dapat hasil banyak untuk hari
ini, bukankah ini juga mau mu agar ke empatnya terisi, sebentar lagi akan usai.
Ini sudah lagu yang terakhir”, jawab Pak Budi heran.
“syukurlah kalau sudah mau usai”,
ujar odong-odong.
Seusai
mengayuh, dengan nada tinggi Pak Budi berkata: “dasar kau pemalas, bukankah
kamu sendiri yang meminta untuk mengisi ke empatnya, tapi kenapa setelah
semuanya terisi kamu meminta untuk segera menyudahinya, apa mau mu?”.
“bukan saya tidak senang, saya
senang kok Pak. Tapi ternyata saya lelah jika menopang empat anak dengan empat
lagu”, sambil kelelahan odong-odong tersbut menjawabnya.
“Baru saja segitu kamu sudah
mengeluh lelah. Tidakkah kau mengerti berapa lama aku kayuh kamu meski tak ada
satu orang pun yang mau menikmati kamu bahkan melirik kamu odong-odong?”,
tegas Pak Budi.
“maafkan saya Pak”, sahut
odong-odong.
“kalau begitu, saya terima saja.
Berapa lama dan berapa banyak saya berkelana dari kampung ke kampung
menyenangkan anak-anak”, ucap odong-odong kepada Pak Budi.
“dulu saya membeli mu dengan
tekat yang kuat untuk tetap bisa bertahan hidup di busuknya ibu kota, saya rasa
kamu yang lebih dulu ada di kota daripada saya, akan lebih kuat menghadapi
kesatiran ibu kota, tapi kenapa baru saja sekali di naiki empat anak kamu sudah
mengeluh?”, ucap Pak Budi.
“saya sudah lama tak dipakai
empat orang dalam setiap perjalanan saya Pak, baru tadi saya melaluinya setelah
sekian lama tak terpakai penuh, mohon maaf dan maklmunya Pak”, pinta
odong-odong.
“kita terus berusaha untuk
menaklukan tirani kejamnya ibu kota, terima saja apa yang akan terjadi di
sepanjang perjalanan kita odong-odong, namun janganlah mengeluh!”, kata Pak
Budi.
Esoknya, keadaan odong-odong telah
memulih. Pak Budi kembali mengayuh kawan penopang nafkah keluarganya.
Keberhasilan mengisi ke empat odong-odongnya, ingin kembali Pak Budi dan
odong-odong ulangi. Mereka gagah menatap mentari, sigap menantang sengatan sing
hari.
Sudah berjam-jam keliling, sudah
pula beberapa perkampungan di kelilingi. Namun semua nihil. Kesuksesan kemarin
yang ingin di ulang, ternyata kosong. Di perjalanan jam ke empatnya, seakan
sudah bergembira ketika melihat seorang ibu menggendong anaknya dengan penuh
kasih, jika kesuksesan mengisi ke empatnya kemarin belum dapat terulang untuk
hari ini, tak mengapa jika hanya satu orang daripada tidak sama sekali. Pak
Budi yakini bahwa itu rejekinya.
Pak Budi mempercepat mengayuh
odong-odongnya, agar cepat sampai menghampiri anak mungil tadi.
Setelah sampai tepat di depan
rumahnya. Anak mungil itu menunjuk odong-odong Pak Budi, dengan wajah meminta
kepada ibunya. Lalu Pak Budi dengan ramah menawarkannya.
“tidak
pak”, kata ibu
tersebut sambil memegang tangan anaknya yang sedari tadi menunjuk ke odong-odong.
“tapi
anaknya meminta bu”,
jawab Pak Budi.
Ibu tersebut lantas berkata “tidak pak,
hanya menghabiskan uang saja. Saya sudah membelikan mainan anak saya yang jauh
lebih bagus”.
Pak Budi lantas berlalu membawa
odong-odongnya.