Primadona Pondok
buah karya : Siti Aisyah (Yu Beruk)
Tinggal menunggu
beberapa menit saja, proses ijab kabul Maimunah akan berlangsung. Bukan di
rumah atau pun di masjid, melainkan di sebuah pondok pesantren tempat ia
menghafal tiga puluh juz, 144 surat. Orang
akan kagum melihat gadis ini. Selain seorang khafizdoh, bentuk fisiknya juga pantas untuk dikagumi. Tubuhnya
yang ideal untuk ukuran wanita; tidak terlalu tinggi, tidak juga terlalu
pendek, tidak gemuk, tidak juga kurus. Wajahnya yang cantik jelita; lembut, segar
merona seperti selesai mandi, bentuk mukanya agak elips dihiasi alis hitam yang nylirit, seperti bulan sabit. Berteduh
pula dibawah alisnya dua mata beserta bulu mata yang lentik. Dan hidungnya yang
mancung, mengimbangi bibirnya yang kecil orange
merona. Tambah molek pula dengan jilbab
segi empat yang ia kenakan. Benar-benar wanita dambaan lelaki.
Khafidzoh yang satu ini bukanlah anak seorang kyai, yang orang
biasanya memanggil Ning untuk
perempuan, dan Gus untuk laki-laki. Melainkan, ia adalah anak seorang TKW.
Ibunya bekerja di Hongkong, sedangkan ayahnya masih saja sibuk bermain judi dan
wanita. Kedua orang tuanya telah bercerai dua tahun yang lalu. Dan kini,
Maimunah akan menikah.
“Entah, apakah aku benar-benar mencintai
pemuda itu ataukah sekedar pelarian karena orang tuaku? Seandainya saja ibu dan
bapak tidak bercerai, masih harmonis sebelum peristiwa itu terjadi. ”gumamnya
pada Zahra, adiknya.
“Mbak, aku mengerti apa yang mbak
rasakan. Kita hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk keluarga kita. Lagi pula
kalian serasi mbak.”sahut Zahra sambil memeluk kakaknya.
Hari ini adalah hari yang bersejarah
untuk Maimunah dan Khafidzin. Maimunah menjatuhkan pilihannya pada lelaki yang
juga penghafal kitab suci ini. Rumah mereka hanya berselisih satu desa. Bapak
Maimunah, pak Kalimi yang mengenalkan lelaki ini kepadanya. Cukup singkat.
Hanya tiga bulan mereka bertaarufan.
Kini, semua
tampak siap. Ruangan aula pondok telah didesain sedemikian rupa untuk menyambut
para rombongan yang jauh-jauh datang dari luar kabupaten, dan juga untuk
prosesi akad. Karpet dibentangkan, bunga-bunga bersemayam mengisi kekosongan di
pojok ruangan, dan peralatan ijab qobul telah menunggu. Beberapa rantang berisikan makanan dan minuman
menawarkan diri melalui kepulan asap yang muncul di sela-sela penutup. Nikmat. Santri
dan santriwati berdiri menyambut kedatangan mereka dengan senyum sapa dan
bersalaman. Penghulu pun telah siap untuk menikahkan calon mempelai dan semua
orang telah duduk berjajar, ingin menyaksikan hari bersejarah Khafidzin dan
Maimunah.
Sementara di
dalam kamar, mata Maimunah masih saja berkaca-kaca. Ia menahan kedipan matanya
dengan sesekali melihat ke atas, mencegah matanya untuk tidak meneteskan air
mata. Hidungnya kembang kempis dan bibir kecilnya ia katupkan. Wajahnya muram.
Ia baru saja mendengar ucapan maaf, sekaligus ucapan selamat dari ibunya yang
sudah lima tahun ini menjadi TKW di Hongkong.
“Nduk,
maafkan ibu ya? Ibu tidak bisa hadir dalam acara pernikahanmu. Ibu hanya bisa
mendoakan dan mengirim beberapa uang yang tidak bisa mewakili kehadiran ibu.
Ibu bukanlah ibu yang baik. Jaga rumah tanggamu, jangan seperti ibu dan bapak!”
suara isak tangis bu Fatimah dalam telepon. “Tidak apa-apa bu, saya mengerti.
Ibu adalah wanita terhebat yang pantas untuk menjadi teladan. Saya hanya mohon doa restu dari ibu.”dengan suara
parau, Maimunah menjawabnya.
Calon mempelai wanita ini berusaha
untuk tegar. Sementara itu, orang-orang disekitar menjatuhkan air mata
mengingat keadaan keluarga Maimunah.
“Nduk-nduk,
kamu kok ya begitu kuat dengan keadaan keluargamu yang seperti ini. Bulek saja belum tentu kuat nduk. Gusti ingkang Maha Kuasa, benar-benar sayang sama kamu nduk.” Mereka mengusap air mata yang
terurai ke pipinya, yang telah terpoles make
up.
Sekitar dua tahun
yang lalu, orang tua Maimunah bercerai. Karena Pak Kalimi, bapak Maimunah selingkuh dengan tetangganya. Ia
tidak tahan ditinggal istrinya merantau ke luar negeri. Padahal, istrinya
bekerja untuk membiayai anak-anak dan mengumpulkan modal untuk suaminya
berternak kembali. Karena sebelumnya, ternak mereka mati, diracuni oleh orang
yang merasa terganggu dengan keberadaan hewan-hewan itu. Namun, lambat laun,
komitmen itu berubah karena ulah pak Kalimi. Beliau menggunakan uang yang
dikirim istrinya untuk berjudi, mabuk, dan bermain wanita. Akibatnya, hutang melilit mereka. Rumah disita, tabungan
ludes, dan belum lagi mereka mendapat sanksi sosial dari masyarakat. Lengkaplah
sudah. Dan kini, bu Fatimah harus bertahan menjadi TKW di luar negeri untuk melunasi
hutang suaminya. Entah ini salah siapa. Salah seorang istri yang tidak pernah
memenuhi kewajibannya kepada suami, ataukah karena suami yang tidak bisa bertanggung
jawab terhadap keluarga.
Inilah yang
membulatkan tekad Maimunah untuk menuntut ilmu di pondok pesantren setelah
tamat SMP, sela beberapa tahun disusul adiknya, Zahra. Dan, hal ini pula yang
menyebabkan Maimunah lebih memilih untuk menikah muda, dua puluh tahun. Selain
dipaksa bapaknya, ia merasa merepotkan ibu dan neneknya. Ibunya masih menanggung
biaya hidupnya dan Zahra. Setiap kali pulang dari pondok, mereka berdua tinggal
di rumah nenek bersama tantenya. Sedangkan
bapak mereka, tinggal di rumah nenek yang merupakan ibu dari bapak mereka.
Di hari bahagianya ini, tidak tampak kedua orang
tua Maimunah.
“Mbah, bapak datang tidak?”
“Bapakmu belum datang nok, tadi dia berangkat sendiri, tidak
ikut rombongan kami.”
Bu Nyai, keluarga, tetangga, dan
teman-temannya bergantian memeluk Maimunah, menenangkan dan memberi semangat. Dengan
membendung air mata, ia pun berusaha
untuk tetap tersenyum. “Ayo nduk
sekarang keluar, sebentar lagi akan dimulai.” Bujuk bu Nyai.
Dengan
diiringi teman-temannya, Maimunah berjalan keluar. Ia seperti bidadari yang
dikelilingi dayang-dayangnya. Orang-orang terkesima. Ia tampak anggun dengan longdress putih pemberian ibunya,
tubuhnya yang ideal terbalut kain putih yang tidak terlalu gemerlap, berhiaskan
bunga-bunga bordir kecil. Lebih cantik pula dengan balutan hijabers dan make up yang
tidak terlalu menor. Teman-teman mengantarkannnya ke tempat ijab qobul, tapi di
ruang yang berbeda. Ada sekat pemisah antara mempelai laki-laki dan perempuan,
sebelum penghulu menyatakan sah.
Setelah lima
belas menitan menunggu pak Kalimi, suasana mulai riuh. Penghulu tampak gelisah,
karena satu jam lagi beliau akan berpindah tempat, menikahkan calon mempelai
lain.
“Aduh mana ini walinya? Saya harus
segera berpindah tempat, tolong pak dihubungi lagi orang tuanya?” Penghulu
resah. Berkali-kali beliau mengerutkan alis sambil memelototi jam tangannya. “Sabar dulu pak, ini sedang dihubungi. Tapi
kok tidak aktif ya nomernya?” sahut paman Maimunah, gelisah.
Beberapa menghubungi pak Kalimi, namun
nomornya tidak bisa dihubungi. Banyak yang menggunjingkan beliau. Mereka kesal.
Suasana pun tidak kondusif lagi.
“Dek, apa menurutmu bapak tidak akan
datang untuk menjadi wali nikahku?” bisik Maimunah kepada Zahra. “Bapak pasti
datang mbak, kan beliau juga yang menjodohkan kalian.” Jawab Zahra sambil
menenangkan Maimunah. Kedua kakak beradik ini terlihat tenang dan tegar. Mereka
terbiasa menjalani masalah keluarga yang mengharuskan untuk bersikap dewasa.
Tak berapa lama
kemudian, sebuah sepeda motor datang, ternyata yang ditunggu tiba juga. Beberapa
orang mengumpat.
“Ini dia mbkyu orangnya, jadi orang tua kok tidak punya malu, masak hadir di
pernikahan anaknya telat. Huu.“
“Masih mending telat. Lha ini,
kelakuannya itu lho, hiih. Orang tua seperti itu apa masih pantas diakui bapak?
Masak bapaknya tukang selingkuh dan main judi, anaknya penghafal Al quran. Ya ndak mecing ta yu.”
Seseorang dari mereka tersadar kalau
bu Nyai sedang memerhatikan mereka.
“Ssssst.
Lihat! dilirik sama bu Nyai.” Seketika mereka salah tingkah,
senyum-senyum kecil kepada bu Nyai yang cukup lama mendengar pembicaraan
mereka.
Pak Kalimi datang
dengan tergesa-gesa. Ia berjalan cepat dari tempat parkir motornya ke tempat
ijab sambil memakai peci. Orang-orang memandang sengit. Segera penghulu mengalihkan perhatian mereka dengan memulai
prosesi ijab qobul. Isak haru
mewarnai prosesi ijab qobul. Banyak mata yang tak mampu membendung airnya.
Menetes, jatuh ke pipi. Ada juga yang mengusapnya dengan tisu. Mengharukan.
Serentetan
prosesi telah berlangsung. Setelah kata sah terucap dengan disetujui para
saksi, kedua mempelai ini dipertemukan. Musik rebana menyambut pertemuan
mereka, diiringi sholawat nabi yang pernah dilantunkan ketika orang-orang
menyambut kedatangan nabi di kota Madinah. Begitu menyentuh. Menakjubkan. Maimunah
berjalan dengan kerendahan hati menuju suaminya. Saling bertatapan. Dengan
sedikit malu ia mencium tangan suaminya dan sebaliknya, suaminya mencium kening
Maimunah. Orang-orang yang menyaksikan ikut hanyut dalam suasana bahagia
bercampur sendu.
Kedua mempelai
meminta doa restu pada orang-orang yang hadir. Mereka bersalaman, terkecuali
bagi yang bukan mukhrim, masih saling menghormati dengan memohonkan doa dan
mengucapkan selamat. Tapi, tepat di hadapan bapaknya, Maimunah tidak mau bersalaman.
Ia hanya menunduk. Lalu, kembali ke tempat semula. Pak Kalimi diam
memperhatikan. Ia tampak sedih.
Kaliwungu
Selatan, Mei 2015