Tampilkan postingan dengan label tulisan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label tulisan. Tampilkan semua postingan

Selasa, 04 Agustus 2015

Primadona Pondok

Primadona Pondok
buah karya : Siti Aisyah (Yu Beruk) 
Tinggal menunggu beberapa menit saja, proses ijab kabul Maimunah akan berlangsung. Bukan di rumah atau pun di masjid, melainkan di sebuah pondok pesantren tempat ia menghafal tiga puluh juz,  144 surat. Orang akan kagum melihat gadis ini. Selain seorang khafizdoh, bentuk fisiknya juga pantas untuk dikagumi. Tubuhnya yang ideal untuk ukuran wanita; tidak terlalu tinggi, tidak juga terlalu pendek, tidak gemuk, tidak juga kurus. Wajahnya yang cantik jelita; lembut, segar merona seperti selesai mandi, bentuk mukanya agak elips dihiasi alis hitam yang nylirit, seperti bulan sabit. Berteduh pula dibawah alisnya dua mata beserta bulu mata yang lentik. Dan hidungnya yang mancung, mengimbangi bibirnya yang kecil orange merona. Tambah molek pula dengan  jilbab segi empat yang ia kenakan. Benar-benar wanita dambaan lelaki.
Khafidzoh yang satu ini bukanlah anak seorang kyai, yang orang biasanya memanggil Ning untuk perempuan, dan Gus untuk laki-laki. Melainkan, ia adalah anak seorang TKW. Ibunya bekerja di Hongkong, sedangkan ayahnya masih saja sibuk bermain judi dan wanita. Kedua orang tuanya telah bercerai dua tahun yang lalu. Dan kini, Maimunah akan menikah.
 “Entah, apakah aku benar-benar mencintai pemuda itu ataukah sekedar pelarian karena orang tuaku? Seandainya saja ibu dan bapak tidak bercerai, masih harmonis sebelum peristiwa itu terjadi. ”gumamnya pada Zahra, adiknya.
“Mbak, aku mengerti apa yang mbak rasakan. Kita hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk keluarga kita. Lagi pula kalian serasi mbak.”sahut Zahra sambil memeluk kakaknya.
Hari ini adalah hari yang bersejarah untuk Maimunah dan Khafidzin. Maimunah menjatuhkan pilihannya pada lelaki yang juga penghafal kitab suci ini. Rumah mereka hanya berselisih satu desa. Bapak Maimunah, pak Kalimi yang mengenalkan lelaki ini kepadanya. Cukup singkat. Hanya tiga bulan mereka bertaarufan.
Kini, semua tampak siap. Ruangan aula pondok telah didesain sedemikian rupa untuk menyambut para rombongan yang jauh-jauh datang dari luar kabupaten, dan juga untuk prosesi akad. Karpet dibentangkan, bunga-bunga bersemayam mengisi kekosongan di pojok ruangan, dan peralatan ijab qobul telah menunggu.  Beberapa rantang berisikan makanan dan minuman menawarkan diri melalui kepulan asap yang muncul di sela-sela penutup. Nikmat. Santri dan santriwati berdiri menyambut kedatangan mereka dengan senyum sapa dan bersalaman. Penghulu pun telah siap untuk menikahkan calon mempelai dan semua orang telah duduk berjajar, ingin menyaksikan hari bersejarah Khafidzin dan Maimunah.
Sementara di dalam kamar, mata Maimunah masih saja berkaca-kaca. Ia menahan kedipan matanya dengan sesekali melihat ke atas, mencegah matanya untuk tidak meneteskan air mata. Hidungnya kembang kempis dan bibir kecilnya ia katupkan. Wajahnya muram. Ia baru saja mendengar ucapan maaf, sekaligus ucapan selamat dari ibunya yang sudah lima tahun ini menjadi TKW di Hongkong.
Nduk, maafkan ibu ya? Ibu tidak bisa hadir dalam acara pernikahanmu. Ibu hanya bisa mendoakan dan mengirim beberapa uang yang tidak bisa mewakili kehadiran ibu. Ibu bukanlah ibu yang baik. Jaga rumah tanggamu, jangan seperti ibu dan bapak!” suara isak tangis bu Fatimah dalam telepon. “Tidak apa-apa bu, saya mengerti. Ibu adalah wanita terhebat yang pantas untuk menjadi teladan.  Saya hanya mohon doa restu dari ibu.”dengan suara parau, Maimunah menjawabnya.
Calon mempelai wanita ini berusaha untuk tegar. Sementara itu, orang-orang disekitar menjatuhkan air mata mengingat keadaan keluarga Maimunah.
Nduk-nduk, kamu kok ya begitu kuat dengan keadaan keluargamu yang seperti ini. Bulek saja belum tentu kuat nduk. Gusti ingkang Maha Kuasa, benar-benar sayang sama kamu nduk.” Mereka mengusap air mata yang terurai ke pipinya, yang telah terpoles make up.
Sekitar dua tahun yang lalu, orang tua Maimunah bercerai. Karena Pak Kalimi, bapak  Maimunah selingkuh dengan tetangganya. Ia tidak tahan ditinggal istrinya merantau ke luar negeri. Padahal, istrinya bekerja untuk membiayai anak-anak dan mengumpulkan modal untuk suaminya berternak kembali. Karena sebelumnya, ternak mereka mati, diracuni oleh orang yang merasa terganggu dengan keberadaan hewan-hewan itu. Namun, lambat laun, komitmen itu berubah karena ulah pak Kalimi. Beliau menggunakan uang yang dikirim istrinya untuk berjudi, mabuk, dan bermain wanita. Akibatnya,  hutang melilit mereka. Rumah disita, tabungan ludes, dan belum lagi mereka mendapat sanksi sosial dari masyarakat. Lengkaplah sudah. Dan kini, bu Fatimah harus bertahan menjadi TKW di luar negeri untuk melunasi hutang suaminya. Entah ini salah siapa. Salah seorang istri yang tidak pernah memenuhi kewajibannya kepada suami, ataukah karena suami yang tidak bisa bertanggung jawab terhadap keluarga.
Inilah yang membulatkan tekad Maimunah untuk menuntut ilmu di pondok pesantren setelah tamat SMP, sela beberapa tahun disusul adiknya, Zahra. Dan, hal ini pula yang menyebabkan Maimunah lebih memilih untuk menikah muda, dua puluh tahun. Selain dipaksa bapaknya, ia merasa merepotkan ibu dan neneknya. Ibunya masih menanggung biaya hidupnya dan Zahra. Setiap kali pulang dari pondok, mereka berdua tinggal di rumah nenek  bersama tantenya. Sedangkan bapak mereka, tinggal di rumah nenek yang merupakan ibu dari bapak mereka.
 Di hari bahagianya ini, tidak tampak kedua orang tua Maimunah.
“Mbah, bapak datang tidak?”
“Bapakmu belum datang nok, tadi dia berangkat sendiri, tidak ikut rombongan kami.”
Bu Nyai, keluarga, tetangga, dan teman-temannya bergantian memeluk Maimunah, menenangkan dan memberi semangat. Dengan membendung air mata, ia pun  berusaha untuk tetap tersenyum. “Ayo nduk sekarang keluar, sebentar lagi akan dimulai.” Bujuk bu Nyai.
            Dengan diiringi teman-temannya, Maimunah berjalan keluar. Ia seperti bidadari yang dikelilingi dayang-dayangnya. Orang-orang terkesima. Ia tampak anggun dengan longdress putih pemberian ibunya, tubuhnya yang ideal terbalut kain putih yang tidak terlalu gemerlap, berhiaskan bunga-bunga bordir kecil. Lebih cantik pula dengan balutan hijabers dan make up yang tidak terlalu menor. Teman-teman mengantarkannnya ke tempat ijab qobul, tapi di ruang yang berbeda. Ada sekat pemisah antara mempelai laki-laki dan perempuan, sebelum penghulu menyatakan sah.
Setelah lima belas menitan menunggu pak Kalimi, suasana mulai riuh. Penghulu tampak gelisah, karena satu jam lagi beliau akan berpindah tempat, menikahkan calon mempelai lain.
“Aduh mana ini walinya? Saya harus segera berpindah tempat, tolong pak dihubungi lagi orang tuanya?” Penghulu resah. Berkali-kali beliau mengerutkan alis sambil memelototi jam tangannya.  “Sabar dulu pak, ini sedang dihubungi. Tapi kok tidak aktif ya nomernya?” sahut paman Maimunah, gelisah.
 Beberapa menghubungi pak Kalimi, namun nomornya tidak bisa dihubungi. Banyak yang menggunjingkan beliau. Mereka kesal. Suasana pun tidak kondusif lagi.
“Dek, apa menurutmu bapak tidak akan datang untuk menjadi wali nikahku?” bisik Maimunah kepada Zahra. “Bapak pasti datang mbak, kan beliau juga yang menjodohkan kalian.” Jawab Zahra sambil menenangkan Maimunah. Kedua kakak beradik ini terlihat tenang dan tegar. Mereka terbiasa menjalani masalah keluarga yang mengharuskan untuk bersikap dewasa.
Tak berapa lama kemudian, sebuah sepeda motor datang, ternyata yang ditunggu tiba juga. Beberapa orang mengumpat.
“Ini dia mbkyu orangnya, jadi orang tua kok tidak punya malu, masak hadir di pernikahan anaknya telat.  Huu.“  
“Masih mending telat. Lha ini, kelakuannya itu lho, hiih. Orang tua seperti itu apa masih pantas diakui bapak? Masak bapaknya tukang selingkuh dan main judi, anaknya penghafal Al quran. Ya ndak mecing ta yu.”
Seseorang dari mereka tersadar kalau bu Nyai sedang memerhatikan mereka.
 “Ssssst.  Lihat! dilirik sama bu Nyai.” Seketika mereka salah tingkah, senyum-senyum kecil kepada bu Nyai yang cukup lama mendengar pembicaraan mereka.
Pak Kalimi datang dengan tergesa-gesa. Ia berjalan cepat dari tempat parkir motornya ke tempat ijab sambil memakai peci. Orang-orang memandang sengit. Segera penghulu mengalihkan perhatian mereka dengan memulai prosesi ijab qobul. Isak haru mewarnai prosesi ijab qobul. Banyak mata yang tak mampu membendung airnya. Menetes, jatuh ke pipi. Ada juga yang mengusapnya dengan tisu. Mengharukan.
Serentetan prosesi telah berlangsung. Setelah kata sah terucap dengan disetujui para saksi, kedua mempelai ini dipertemukan. Musik rebana menyambut pertemuan mereka, diiringi sholawat nabi yang pernah dilantunkan ketika orang-orang menyambut kedatangan nabi di kota Madinah. Begitu menyentuh. Menakjubkan. Maimunah berjalan dengan kerendahan hati menuju suaminya. Saling bertatapan. Dengan sedikit malu ia mencium tangan suaminya dan sebaliknya, suaminya mencium kening Maimunah. Orang-orang yang menyaksikan ikut hanyut dalam suasana bahagia bercampur sendu.
Kedua mempelai meminta doa restu pada orang-orang yang hadir. Mereka bersalaman, terkecuali bagi yang bukan mukhrim, masih saling menghormati dengan memohonkan doa dan mengucapkan selamat. Tapi, tepat di hadapan bapaknya, Maimunah tidak mau bersalaman. Ia hanya menunduk. Lalu, kembali ke tempat semula. Pak Kalimi diam memperhatikan. Ia tampak sedih.

                                                                                    Kaliwungu Selatan, Mei 2015











Sabtu, 09 Mei 2015

Panggung “Nyonya-Nyonya” di UIN Walisongo


Rabu, 29 April kemarin Teater Asa UIN Walisongo berhasil mementaskan pementasan teater dengan lakon Nyonya-nyonya.  Sebuah naskah karya wisran Hadi yang di sutradarai Widyanur Rahmat atau sering dipanggil “Benyok” ini berhasil menembus penonton hingga 300 penonton. Sebuah kisah yang diawali dengan kemunculan Tuan Wirawan yang merasa kesal karena alam yang tak bersahabat dan ramalan cuaca yang sering meleset sehingga ia harus berhadapan dengan Nyonya Hayati sebagai pemilik rumah yang ia gunakan untuk berteduh. Lalu terjadilah cek cok antara keduanya yang sama-sama ingin menang. Dilanjutkan kehadiran keponakan dari paman (Istri Nyonya Hayati) yang datang memperjuangkan harta pusaka yang dalam ceritanya itu harta tersebut digunakan paman untuk kebutuhan istrinya (Nyonya Hayati).
                     “Sebenarnya kisah dalam naskah ini mengangkat kehidupan matrealistis seorang nyonya, dimana awal-awalnya ia berjuang benar mempertahankan harga diri dan martabatnya, namun ketika berhadapan dengan uang semuanya berubah drastis, si Nyonya tidak ingat lagi akan martabat sebagai Istri” ujar kang Benyok ( selaku Sutradara). Dalam pementasan tersebut selain mengangkat matrealistis wanita juga mengangkat adat minangkabau, dimana harta pusaka itu sangat sakral di padang. Itu dibuktikan dengan kemunculan keponakan yang meminta hak atas harta pusaka. Harta pusaka kalau ditanah jawa bisa dikatakan dengan harta waris (harta milik bersama dari keturunan keluarga). Si keponakan bersekongkol untuk mengambil hak atas harta pusaka lewat istri pamannya. Hal itu merupakan sebuah alibi dari keponakan untuk mencuri hati paman yang dikisahkan menderita penyakit kangker lidah dan dirawat dirumah sakit.

                     Pementasan yang berdurasi kurang lebih 80 menit ini dihadiri oleh teater-teater kampus lain baik dalam ruang lingkup semarang maupun luar semarang, dan komunitas seni lainnya serta tokoh-tokoh budayawan. “ini adalah  pementasan yang sangat komplek, dimana dalam adegannya itu mengangkat plot secara utuh, mulai dari pekarangan, teras, ruang tamu hingga ruangan khusus” ujar Ilham salah satu penggiat seni di teater Eska(UIN Sunan Kalijaga). Diskusi yang berdurasi 60 menit an ini membuat terlena para audience yang mengikuti proses diskusi, sehingga berbagai macam pertanyaan terus terlontarkan mulai dari pesan yang disampaikan dalam pementasan sampai ke tekhnis pementasan.(RG)

 
Design Downloaded from Free Website Templates Download | Free Textures | Web Design Resources