Rabu, 03 Desember 2014

Odong-odong

 Odong-odong
 Oleh : Ninik Zakiyah '12 ( Mbangir )
 
Panas sekali hari ini”, gumam Pak Budi sambil terus mengontel odong-odongnya dengan penuh harap.
Terus mengayuh demi kocek untuk nafkah keluarga tercinta, dibekali sebotol air putih, sebungkus nasi dan ikan asin oleh istri tercinta, yang ia gantungkan di sebelah kanan odong-odong. Topi kusut Pak Budi masih setia ia pakai untuk menutupi sengatan terik panas. Tersematkan handuk kecil di lehernya, untuk mengusap keringat yang keluar dari persinggahannya.
            Sudah lebih dari dua tahun yang lalu Pak Budi menggeluti usaha odong-odong. Di belinya dari tetangga ketika ia baru hijrah dari kampung halamannya. Bermodalkan uang saku dari kampung, ia belikan sebuah odong-odong. Awalnya ragu, akankah bisa sekedar bertahan hidup pada bau anyir Ibu Kota dengan hanya meletakkan harapan pada sebuah permainan anak-anak. Akan tetapi, Pak Budi tanggalkan segala keraguan untuk kebahagiaan keluarga kecilnya. Keyakinan dan keterjepitan horornya ibu kota, menimbulkan semangat yang meradang demi sesuap nasi.
            Pak Budi mengontrak rumah sepetak di gang sempit rawan banjir, jalan untuk lewat odong-odongnya saja harus Pak Budi tuntun. Maksut hati ingin odong-odongnya di parkirkan di depan rumahnya, tapi karena kesulitan yang terlalu lama memasuki gang rumahnya akhirnya odong-odong tersebut hanya di letakkan dengan apik di samping papan nama depan gang rumahnya.
            Kokok ayam pertanda kesiapan Pak Budi melajukan odong-odongnya. Sarapan pagi yang selalu di suguhkan oleh sang istri untuk mengisi tenaganya. Masih di bekali sebungkus nasi dan ikan serta sebotol minum untuk makan siangnya nanti, lumayan untuk mengurangi biaya pengeluaran jajan di keluarganya.
            Sambil berangkat mencari nafkah, Pak Budi mengantarkan anak semata wayangnya dahulu ke sekolah dengan odong-odongnya. Entah anak tercinta malu atau tidak ketika ayahnya mengantarkan sekolah, Pak Budi menciut nyalinya ketika mengantarkan. Melihat teman-teman anaknya di antarkan orangtuanya dengan sepeda motor, bahkan mobil. Kecerdasan anaknya yang menjadikan ia bisa masuk sekolah unggulan serta mendapatkan beasiswa hingga lulus sekolah dasar nanti, sangat beruntung sekali sang Tuan Kayuh dikaruniai buah hati yang cerdas, keterbatasan ekonomi keluarga bukan alasan untuk tidak pintar. Namun ternyata buah hati Pak Budi menjadikaanya itu sebagai acuan semangat untuk merubah segala persepsi masyarakat yang mengangap remeh keluarganya. Diana, begitu panggilan anaknya yang tak pernah malu apa pekerjaan ayahnya tercinta. Karena dari situ dia dapat bertahan hidup. Meski saat ini baru duduk di bangku kelas enam sekolah dasar, tak membuat Diana lantas bermalas. Didikan ibu dan bapaknya membuat Diana memahami kondisinya sekarang, karena Diana punya cita-cita besar untuk merubah keadaannya sekarang untuk menjadi lebih baik dan berjaya.
            Setelah mengantarkan Diana, Pak Budi meneruskan perjalanannya dari kampung ke kampung dengan lagu anak-anak yang selalu diputar untuk menarik minat anak-anak untuk memakai jasa odong-odongnya. Waktu terus melaju, panas hari semakin menyilaukan, dari detik, menit, hingga jam, tak didapatnya anak-anak yang keluar untuk sebentar menaiki odong-odongnya. Sempat terpikir di benak Pak Budi untuk mengganti lagu-lagu kelas anak-anak dengan lagu-lagu masa kini, pop atau dangdut. Pak Budi pikir anak jaman sekarang sudah tak mengenal atau bahkan alergi kala mendengar lagu anak-anak seperti balonku ada lima, abang tukang bakso. Tapi Pak Budi akhirnya memutuskan untuk tak mau mengganti jenis lagunya. Pak Budi malahan punya misi untuk mendekatkan lagu yang semestinya anak-anak dengar. Hari itu, tak ada satu pun anak  yang menjajal odong-odongnya.
“Kiranya uang hasil kemarin masih cukup untuk makan sampai esok tiba”, harap Pak Budi.
            Pak Budi berusaha mencari ide agar odong-odongnya laku pesat, lalu odong-odong Pak Budi beri sedikit polesan untuk menjadi lain daripada yang lain. Pak Budi tak kehabisan ide, orangnya  sangat kreatif dan pintar mengeksplor odong-odongnya. Pak Budi lukis dengan aneka hewan dan tumbuhan yang lucu. Pak Budi hiasi dengan lampu warna warni, keempat binatang yang dinaikinya ia berikan suara yang berbeda-beda sesuai dengan jenis hewannya.
            Interaksi manusia tak hanya sebatas kepada sesama manusia saja. Benda hidup dan tak hidup sama-sama diciptakan untuk bergurau.
            Tiba-tiba odong-odong bergerak sendiri sambil tersenyum, seperti bangkit dari tidur panjangnya. Lama sudah badannya tak pernah dijamah, ruhnya kembali. Ternyata odong-odongnya begitu senang kepada Pak Budi.
Ia berkata “sering-seringlah aku di bersihkan, aku ada diantara kalian”, Pak Budi tersenyum membalasnya.
Dengan wajah baru odong-odongnya, Pak Budi yakin akan ada banyak anak yang tertarik dan memakai odong-odongnya. Dari pagi sampai mau menjelang duhur, sudah berkali-kali mengitari dari komplek yang satu ke komplek yang lainnya, lagu yang biasnya hanya diputar dengan volume setengah, Pak Budi berikan volume penuh. Namun, tak ada satupun yang melirik odong-odongnya. Lalu Pak Budi istirah sejenak meregangkan otot dan melepas lelah. Diambilnya sebotol air putih bekal dari sang Istri tercinta.
Baru satu tegukan, odong-odongnya berteriak kepada Pak Budi, “ayo bangkit pemalas”, kata odong-odong dengan suara kencang.
Dengan bermandikan keringat, tiba-tiba Pak Budi dimarahi odong-odongnya. Pak Budi lantas tersulut kemarahannya oleh odong-odong. “Kalau saya pemalas, tak akan aku pelihara kamu”, sahut Pak Budi.
“Bukankah kemarin kamu bilang telah senang aku dandani untuk keluargaku, tapi seenaknya kau memarahiku. Tidakkah kau lihat usahaku merubah wajahmu menjadi lebih baik”, jelas Pak Budi.
“Iya, saya kemarin memang berkata seperti itu wahai Pak Budi, okelah mari kita lnjutkan perjalanan ini”, jawab odong-odong.
            Dengan muka kisut dan marah, Pak Budi lalu bergegas mengayuh odong-odongnya. Sampai di sebuah perkampungan yang masih agak dekat dengan rumahnya, ada seorang anak yang di gendong ibunya meminta untuk naik odong-odong Pak Budi Kayuh itu. Gembiranya Pak Budi ketika ada anak yang hendak memakai odong-odongnya. Ketika sang Tuan hendak menaikkan anak imut tersebut, ternyata ibunya menawar dahulu harga sekali naik.
“berapa pak?”, tanya ibu tersebut.
“dua ribu untuk empat putaran lagu bu”, jawab Pak Budi.
“seribu lima ratus saja ya pak”, tawar ibu.
“ya sudahlah”, jawab Pak Budi sedikit terpaksa.
 Lalu Pak Budi kayuh odong-odongnya untuk menggerakkan ke empat binatang yang meskipun hanya satu saja yang dinaiki.
            “kenapa kau berikan saya seharga seribu lima ratus Pak?”, ucap odong-odong tiba-tiba.
Sambil mengayuh, Pak Budi terkaget lalu menjawab “sudah setengah hari lebih saya berputar mengelilingi kampung demi kampung, namun belum ada seorang pun yang datang. Ibu ini di kirim Tuhan untuk memberikan saya rejeki di hari ini”.
“justru itu Pak, seharusnya jangan mau jika di tawar, tidakkah kau ingat tadi betapa lelahnya dirimu ketika sudah berkeliling kesana kemari”, ujar odong-odong keras.
“Sudahlah-sudah odong-odong, terima saja apa yang akan aku lakukan kepadamu. Kamu itu bawahan saya!”, kata Pak Budi marah.
            Tak berapa lama Pak Budi berkata demikian, tiba-tiba rantai odong-odongnya putus. Baru saja selesai lagu ketiga, dengan ucap maaf setulus hati dari Pak Budi kepada anak imut tersebut dan ibunya, bahwa harus berhenti sampai di lagu ketiga saja karena rantainya putus. Untung ibu tersebut tak memepermasalahkannya.
            Setelah ibu dan anak tadi sudah meninggalkan Pak Budi dan odong-odongnya, Pak Budi dengan cepat memperbaiki rantainya.
“tidakkah enak Pak! Saya memang hanya bawahanmu, tapi bukan berarti anda memperlakukan saya seenaknya sendiri”, gerutu odong-odong kepada Pak Budi ketika sedang memperbaiki rantainya.
            “oke, maafkan saya odong-odong yang telah membentak dan meyepelekanmu”, jawab Pak Budi sambil mengusap keringatnya dengan handuk kecil yang tersematkan di lehernya.
            “ya sudah Pak, jika sudah selesai memperbaikinya mari lanjutkan perjalanan. Tapi saya mohon kepada anda, ke empat binatang yang seharusnya di naiki semua, tolong isilah semua”, pinta odong-odong.
“itu juga mau saya odong-odong, tapi bagaimana lagi. Bukankah aku dan kamu sama-sama tau bagaimana sepinya peminat”, jawab Pak Budi.
“kalau begitu, pindah ke perkampungan yang lain saja. Barangkali mereka sudah bosan melihatku”, sahut odong-odong.
            Baru dua jam berkeliling ke sasaran perkampunga yang baru, ke empatnya sudah terisi semua bahkan tak ada yang menawar harganya. Begitu gembiranya Pak Budi.
“bisa makan yang lebih sederhana dari hari sebelumnya”, lanturan Pak Budi sambil mengayuh dan membayangkan makanan yang akan dimakan nanti.
            “Pak... percepatlah lagunya diputar, atau kalau bisa sudahilah aku kau kayuh Tuan” seru odong-odong lirih kelelahan.
“kenapa odong-odong, apakah kamu tidak senang jika aku dapat hasil banyak untuk hari ini, bukankah ini juga mau mu agar ke empatnya terisi, sebentar lagi akan usai. Ini sudah lagu yang terakhir”,  jawab Pak Budi heran.
            “syukurlah kalau sudah mau usai”, ujar odong-odong.
Seusai mengayuh, dengan nada tinggi Pak Budi berkata: “dasar kau pemalas, bukankah kamu sendiri yang meminta untuk mengisi ke empatnya, tapi kenapa setelah semuanya terisi kamu meminta untuk segera menyudahinya, apa mau mu?”.
            “bukan saya tidak senang, saya senang kok Pak. Tapi ternyata saya lelah jika menopang empat anak dengan empat lagu”, sambil kelelahan odong-odong tersbut menjawabnya.
            “Baru saja segitu kamu sudah mengeluh lelah. Tidakkah kau mengerti berapa lama aku kayuh kamu meski tak ada satu orang pun yang mau menikmati kamu bahkan melirik kamu odong-odong?”, tegas Pak Budi.
            “maafkan saya Pak”, sahut odong-odong.
            “kalau begitu, saya terima saja. Berapa lama dan berapa banyak saya berkelana dari kampung ke kampung menyenangkan anak-anak”, ucap odong-odong kepada Pak Budi.
            “dulu saya membeli mu dengan tekat yang kuat untuk tetap bisa bertahan hidup di busuknya ibu kota, saya rasa kamu yang lebih dulu ada di kota daripada saya, akan lebih kuat menghadapi kesatiran ibu kota, tapi kenapa baru saja sekali di naiki empat anak kamu sudah mengeluh?”, ucap Pak Budi.
            “saya sudah lama tak dipakai empat orang dalam setiap perjalanan saya Pak, baru tadi saya melaluinya setelah sekian lama tak terpakai penuh, mohon maaf dan maklmunya Pak”, pinta odong-odong.
            “kita terus berusaha untuk menaklukan tirani kejamnya ibu kota, terima saja apa yang akan terjadi di sepanjang perjalanan kita odong-odong, namun janganlah mengeluh!”, kata Pak Budi.
            Esoknya, keadaan odong-odong telah memulih. Pak Budi kembali mengayuh kawan penopang nafkah keluarganya. Keberhasilan mengisi ke empat odong-odongnya, ingin kembali Pak Budi dan odong-odong ulangi. Mereka gagah menatap mentari, sigap menantang sengatan sing hari.
            Sudah berjam-jam keliling, sudah pula beberapa perkampungan di kelilingi. Namun semua nihil. Kesuksesan kemarin yang ingin di ulang, ternyata kosong. Di perjalanan jam ke empatnya, seakan sudah bergembira ketika melihat seorang ibu menggendong anaknya dengan penuh kasih, jika kesuksesan mengisi ke empatnya kemarin belum dapat terulang untuk hari ini, tak mengapa jika hanya satu orang daripada tidak sama sekali. Pak Budi yakini bahwa itu rejekinya.
            Pak Budi mempercepat mengayuh odong-odongnya, agar cepat sampai menghampiri anak mungil tadi.
            Setelah sampai tepat di depan rumahnya. Anak mungil itu menunjuk odong-odong Pak Budi, dengan wajah meminta kepada ibunya. Lalu Pak Budi dengan ramah menawarkannya.
“tidak pak”, kata ibu tersebut sambil memegang tangan anaknya yang sedari tadi menunjuk ke odong-odong.
“tapi anaknya meminta bu”, jawab Pak Budi.
 Ibu tersebut lantas berkata “tidak pak, hanya menghabiskan uang saja. Saya sudah membelikan mainan anak saya yang jauh lebih bagus”.
            Pak Budi lantas berlalu membawa odong-odongnya.



0 komentar:

 
Design Downloaded from Free Website Templates Download | Free Textures | Web Design Resources